CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 16 Juli 2022

Rain On My June

 

Aku rasa kita cukup sampai di sini. Semua kenangan baik dan buruk yang udah kita jalani selama ini, cukup sampai di sini.

Hari itu rasanya tanpa aba-aba air mata aku jatuh, awalnya setetes, dua tetes, lalu jatuh mengalir tidak bisa lagi dihitung. Yang aku tahu saat itu, aku dalam kondisi yang sangat buruk. Aku stres berat menjalani ujian akhir kedokteran atau UKMPPD yang persiapannya sangat menguras waktu, tenaga, emosi, dan uang. Semua perhatian aku alihkan hanya untuk ujian itu sampai aku tidak tahu kalau perlahan-lahan aku sudah kehilangan seseorang yang selama hampir 4 tahun ini menemaniku. Dia yang akhir-akhir ini menjauh, tidak lagi mau bertemu, tidak peduli perkembanganku, tidak lagi menceritakan hari-harinya padaku. Selama ujian aku hanya ingin cepat selesai dan pulang, aku mau bertemu dia dan mencurahkan semua perasaan yang telah kutahan selama berbulan-bulan ini padanya—hanya untuk sadar kalau semuanya sudah terlambat. Beberapa temanku bilang, tidak ada yang tiba-tiba berubah di dunia ini, mungkin dia sudah ada tempat lain, mungkin kamu sudah digantikan. Aku menolak kenyataan itu karena rasanya baru kemarin dia bilang, aku tidak perlu mengkhawatirkan perasaannya karena hatinya sepenuhnya buatku. Aku percaya. Sangat percaya. hampir sebulan setelah resmi pisah, aku selalu menyalahkan diri, tidak bisa makan, tidak bisa tidur, setiap menit menangis, duduk berjam-jam di sajadah mengadu kepada Tuhan. Namun berita buruk itu akhirnya sampai padaku, aku tahu akhirnya dia memang sudah menemukan yang baru. Aku sibuk bertanya-tanya apakah waktu yang sudah kita habiskan bersama selama ini tidak berarti apa-apa? Apakah aku tidak berharga sehingga mudah digantikan? Apakah janji-janji yang dia sebut hampir setiap hari itu hanya kebohongan?

Aku masuk pada 5 stages of grieve.  Denial, Anger, Bergaining, Depression, keempat tahap itu silih berganti menyerang mentalku dua bulan terakhir. Saat sudah di fase depression kembali lagi ke anger, keesokan harinya naik lagi ke denial, lalu besok turun kembali ke depression dan selalu seperti itu tanpa pernah mencapai acceptance. Rasanya hampir gila, dunia ini runtuh, tiap saat sesak nafas. Aku marah pada Tuhan, kenapa memberikan rasa sakit yang sama sekali tidak bisa aku tolerir. Lalu sebelum aku benar-benar menjadi tidak waras karena mengurung diri di kamar selama ini, akhirnya kuputuskan untuk bercerita pada teman-teman dekatku. Aku sampai lupa punya teman. Selama ini aku berpikir hanya dia satu-satunya yang kupunya. Jadi ketika dia pergi, aku tidak punya siapa-siapa lagi. Saat kuhubungi, temanku langsung menjemputku di rumah. Aku menangis sejadi-jadinya di mobil, sumpah serapah, dan semua-muanya keluar. Tapi setelah itu beban berat di dadaku sedikit terangkat. Aku sadar kalau aku butuh didengarkan, aku butuh mengeluarkan rasa sesak ini dan bukan memendamnya sendirian. Kemudian selama dua hari aku di kelilingi banyak teman. Kami menginap di hotel dan menjalani pelatihan. Selama dua hari itu juga separuh rasa sakit yang kurasakan hilang. Teman-temanku mengelilingiku, mempersilahkan aku bercerita, menangis di depan mereka, sampai di tahap aku bisa mentertawakan kebodohan yang kubuat selama ini pada mereka. Aku juga mendapati fakta kalau di dunia ini bukan aku saja yang dunianya runtuh, teman-temanku di saat yang sama juga mengalami hal yang sama persis. Bahkan lebih parah. Kami akhirnya berbagi perasaan dan kesedihan serta berjanji untuk saling menguatkan. Aku sangat bersyukur untuk hal itu.

Kemudian setelah pelatihan selesai, aku mendadak takut pulang ke rumah. Aku takut kembali ke fase dimana aku tidak lagi ingin hidup. Tapi Tuhan mempertemukanku pada satu buku yang isinya sangat bagus. Judulnya Filosofi Teras karya Henry Manampiring. Buku yang secara garis besar memaparkan hidup dengan prinsip Stoic alias bodo amat. Namun bukan bodo amat yang sesempit itu. Ada dua hal di dunia ini yang perlu kita pisahkan. Hal yang bisa kita kendalikan, yaitu perasaan kita, pendapat kita, tindakan yang akan kita lakukan.  Sementara yang tidak bisa kita kendalikan adalah hal-hal eksternal seperti keputusan orang lain, harta, kesehatan, dan lainnya. Buku itu bilang, kita salah jika menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan—toh itu bukan milik kita dan kita tidak punya hak untuk itu, hal-hal ini bisa kapan saja diambil dari kita. Aku mulai mencerna lagi isi bukunya dan menemukan banyak hal-hal menarik yang sebenarnya aku sudah tahu itu tapi rasanya tidak pernah sejelas ini dipaparkan. Hal-hal penting untuk menjalani hidup dan menghindari stres. Ah, andai aku baca buku ini jauh sebelum dia pergi.

Dalam kasusku, aku sadar kalau selama ini aku sudah bergantung pada dia. Aku meletakkan seluruh perasaanku dan kepercayaanku padanya. Aku mengklaim bahwa dia milikku seorang. Padahal berdasarkan prinsip Stoic, yang bisa aku kendalikan adalah perasaanku, keputusanku, dan apapun yang bisa kulakukan pada hubungan kami. Aku sadar banyak salah dan kurangnya, tapi aku juga sudah berusaha sebaik mungkin selama ini. Aku harus puas untuk itu, karena itulah yang sudah jadi tanggung jawabku, itu hal maksimal yang bisa kukendalikan. Sementara keputusannya untuk pergi dariku dan mendapatkan ganti yang baru, perasaannya yang sudah hilang padaku, raganya, seluruh tentang kehidupannya adalah bukan milikku dan diluar kendaliku. Aku tidak bisa apa-apa. Yang bisa kulakukan saat ini adalah mengatur kembali perasaanku, menenangkan diri, dan memperbaiki diriku kembali. It has nothing to do with him or his new girlfriend, its all about myself. Butuh 2 bulan buat sadar akan hal ini, tapi lebih baik telat daripada tidak sama sekali kan. Dengan sadar akan prinsip ini, walaupun kondisinya berubah, misalnya kami tidak berpisah saat inipun, tidak ada jaminan kalau dia tidak meninggalkanku di masa depan, entah itu karena orang baru, karena lokasi, ataupun usia? Jika aku tidak sadar, maka duniaku tetap akan hancur berkeping-keping lagi.

Aku berharap setelah ini aku dapat menerapkan prinsip itu dengan baik. Aku akan belajar memisahkan mana yang dapat kukendalikan, mana yang tidak. Dengan begitu aku tidak lagi mengalami hal-hal di bulan juni kemarin. Aku tidak ingin lagi melewatinya, mungkin tidak sanggup lagi. Cukuplah bulan itu, di waktu itu, aku merasakan kiamat kecil di kehidupanku. Patah hati terbesar dalam hidupku. Setelah ini aku berjanji akan terus memperbaiki diri menjadi versi terbaik dalam hidup dan membahagiakan diri sendiri serta orang yang ada di sekitarku.

Ah, jika di masa depan aku diberikan kesempatan bertemu dengannya lagi (walaupun sejujurnya aku berharap tidak akan) semoga saat itu sudah tidak ada lagi rasa sakit di dada dan aku bisa berterima kasih dengan tulus padanya karena bertemu dan berpisah darinya telah mengajarkanku banyak hal tentang hidup ini. Dan aku tidak pernah menyesal karenanya.