Aku rasa
kita cukup sampai di sini. Semua kenangan baik dan buruk yang udah kita jalani
selama ini, cukup sampai di sini.
Hari itu rasanya tanpa aba-aba air mata aku jatuh, awalnya
setetes, dua tetes, lalu jatuh mengalir tidak bisa lagi dihitung. Yang aku tahu
saat itu, aku dalam kondisi yang sangat buruk. Aku stres berat menjalani ujian
akhir kedokteran atau UKMPPD yang persiapannya sangat menguras waktu, tenaga,
emosi, dan uang. Semua perhatian aku alihkan hanya untuk ujian itu sampai aku
tidak tahu kalau perlahan-lahan aku sudah kehilangan seseorang yang selama hampir
4 tahun ini menemaniku. Dia yang akhir-akhir ini menjauh, tidak lagi mau
bertemu, tidak peduli perkembanganku, tidak lagi menceritakan hari-harinya
padaku. Selama ujian aku hanya ingin cepat selesai dan pulang, aku mau bertemu
dia dan mencurahkan semua perasaan yang telah kutahan selama berbulan-bulan ini
padanya—hanya untuk sadar kalau semuanya sudah terlambat. Beberapa temanku
bilang, tidak ada yang tiba-tiba berubah di dunia ini, mungkin dia sudah ada
tempat lain, mungkin kamu sudah digantikan. Aku menolak kenyataan itu karena
rasanya baru kemarin dia bilang, aku tidak perlu mengkhawatirkan perasaannya
karena hatinya sepenuhnya buatku. Aku percaya. Sangat percaya. hampir sebulan
setelah resmi pisah, aku selalu menyalahkan diri, tidak bisa makan, tidak bisa
tidur, setiap menit menangis, duduk berjam-jam di sajadah mengadu kepada Tuhan.
Namun berita buruk itu akhirnya sampai padaku, aku tahu akhirnya dia memang sudah
menemukan yang baru. Aku sibuk bertanya-tanya apakah waktu yang sudah kita
habiskan bersama selama ini tidak berarti apa-apa? Apakah aku tidak berharga
sehingga mudah digantikan? Apakah janji-janji yang dia sebut hampir setiap hari
itu hanya kebohongan?
Aku masuk pada 5 stages of grieve. Denial, Anger, Bergaining, Depression, keempat
tahap itu silih berganti menyerang mentalku dua bulan terakhir. Saat sudah di
fase depression kembali lagi ke anger, keesokan harinya naik lagi ke denial,
lalu besok turun kembali ke depression dan selalu seperti itu tanpa pernah
mencapai acceptance. Rasanya hampir gila, dunia ini runtuh, tiap saat sesak
nafas. Aku marah pada Tuhan, kenapa memberikan rasa sakit yang sama sekali
tidak bisa aku tolerir. Lalu sebelum aku benar-benar menjadi tidak waras karena
mengurung diri di kamar selama ini, akhirnya kuputuskan untuk bercerita pada
teman-teman dekatku. Aku sampai lupa punya teman. Selama ini aku berpikir hanya
dia satu-satunya yang kupunya. Jadi ketika dia pergi, aku tidak punya
siapa-siapa lagi. Saat kuhubungi, temanku langsung menjemputku di rumah. Aku menangis
sejadi-jadinya di mobil, sumpah serapah, dan semua-muanya keluar. Tapi setelah
itu beban berat di dadaku sedikit terangkat. Aku sadar kalau aku butuh
didengarkan, aku butuh mengeluarkan rasa sesak ini dan bukan memendamnya
sendirian. Kemudian selama dua hari aku di kelilingi banyak teman. Kami menginap
di hotel dan menjalani pelatihan. Selama dua hari itu juga separuh rasa sakit
yang kurasakan hilang. Teman-temanku mengelilingiku, mempersilahkan aku
bercerita, menangis di depan mereka, sampai di tahap aku bisa mentertawakan
kebodohan yang kubuat selama ini pada mereka. Aku juga mendapati fakta kalau di
dunia ini bukan aku saja yang dunianya runtuh, teman-temanku di saat yang sama
juga mengalami hal yang sama persis. Bahkan lebih parah. Kami akhirnya berbagi
perasaan dan kesedihan serta berjanji untuk saling menguatkan. Aku sangat
bersyukur untuk hal itu.
Kemudian setelah pelatihan selesai, aku mendadak takut pulang
ke rumah. Aku takut kembali ke fase dimana aku tidak lagi ingin hidup. Tapi Tuhan
mempertemukanku pada satu buku yang isinya sangat bagus. Judulnya Filosofi
Teras karya Henry Manampiring. Buku yang secara garis besar memaparkan hidup
dengan prinsip Stoic alias bodo amat. Namun bukan bodo amat yang sesempit itu. Ada
dua hal di dunia ini yang perlu kita pisahkan. Hal yang bisa kita kendalikan,
yaitu perasaan kita, pendapat kita, tindakan yang akan kita lakukan. Sementara yang tidak bisa kita kendalikan
adalah hal-hal eksternal seperti keputusan orang lain, harta, kesehatan, dan
lainnya. Buku itu bilang, kita salah jika menggantungkan kebahagiaan pada
hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan—toh itu bukan milik kita dan kita tidak
punya hak untuk itu, hal-hal ini bisa kapan saja diambil dari kita. Aku mulai
mencerna lagi isi bukunya dan menemukan banyak hal-hal menarik yang sebenarnya
aku sudah tahu itu tapi rasanya tidak pernah sejelas ini dipaparkan. Hal-hal
penting untuk menjalani hidup dan menghindari stres. Ah, andai aku baca buku
ini jauh sebelum dia pergi.
Dalam kasusku, aku sadar kalau selama ini aku sudah
bergantung pada dia. Aku meletakkan seluruh perasaanku dan kepercayaanku
padanya. Aku mengklaim bahwa dia milikku seorang. Padahal berdasarkan prinsip
Stoic, yang bisa aku kendalikan adalah perasaanku, keputusanku, dan apapun yang
bisa kulakukan pada hubungan kami. Aku sadar banyak salah dan kurangnya, tapi
aku juga sudah berusaha sebaik mungkin selama ini. Aku harus puas untuk itu,
karena itulah yang sudah jadi tanggung jawabku, itu hal maksimal yang bisa
kukendalikan. Sementara keputusannya untuk pergi dariku dan mendapatkan ganti
yang baru, perasaannya yang sudah hilang padaku, raganya, seluruh tentang
kehidupannya adalah bukan milikku dan diluar kendaliku. Aku tidak bisa apa-apa.
Yang bisa kulakukan saat ini adalah mengatur kembali perasaanku, menenangkan
diri, dan memperbaiki diriku kembali. It has
nothing to do with him or his new girlfriend, its all about myself. Butuh 2
bulan buat sadar akan hal ini, tapi lebih baik telat daripada tidak sama sekali
kan. Dengan sadar akan prinsip ini, walaupun kondisinya berubah, misalnya kami
tidak berpisah saat inipun, tidak ada jaminan kalau dia tidak meninggalkanku di
masa depan, entah itu karena orang baru, karena lokasi, ataupun usia? Jika aku
tidak sadar, maka duniaku tetap akan hancur berkeping-keping lagi.
Aku berharap setelah ini aku dapat menerapkan prinsip itu
dengan baik. Aku akan belajar memisahkan mana yang dapat kukendalikan, mana
yang tidak. Dengan begitu aku tidak lagi mengalami hal-hal di bulan juni
kemarin. Aku tidak ingin lagi melewatinya, mungkin tidak sanggup lagi. Cukuplah
bulan itu, di waktu itu, aku merasakan kiamat kecil di kehidupanku. Patah hati
terbesar dalam hidupku. Setelah ini aku berjanji akan terus memperbaiki diri
menjadi versi terbaik dalam hidup dan membahagiakan diri sendiri serta orang
yang ada di sekitarku.
Ah, jika di masa depan aku diberikan kesempatan bertemu
dengannya lagi (walaupun sejujurnya aku berharap tidak akan) semoga saat itu sudah
tidak ada lagi rasa sakit di dada dan aku bisa berterima kasih dengan tulus
padanya karena bertemu dan berpisah darinya telah mengajarkanku banyak hal
tentang hidup ini. Dan aku tidak pernah menyesal karenanya.